Berandasastera’s Blog

Desember 25, 2008

”Sastrawan Blog”; Sebuah Legitimasi Narsisiskah?

Filed under: Uncategorized — berandasastera @ 1:16 pm

Generasi blog, adalah generasi baca tulis dalam dunia cyber. Seseorang yang ngeblog akan mengindikasikan pada dua hal, yaitu dia adalah seorang penulis (setidaknya menulis untuk mengisi blog). Kedua dia adalah seorang pembaca yang baik (setidaknya membaca blog-blog orang lain ketika blogwalking). Sedangkan sastra adalah budaya yang lahir karena tradisi baca-tulis, sehingga tidak bisa dielak lagi jika sastra pun ikut merambah dalam generasi blog.

Istilah ”sastrawan blog” –untuk sementara kita memberinya tanda kutip-, seperti sastrawan koran yang mempublikasikan karyanya lewat media cetak, ”sastrawan blog” adalah istilah untuk menyebut seseorang yang mempublikasikan karya sastra lewat blog. Tetapi berbeda dengan sastrawan koran, karena blog bersifat personal. Tidak ada tim redaksi seperti dalam media cetak, yang bekerja untuk menyeleksi dan mengedit tulisan. Sehingga orang-orang yang berhasil menembus barikade redaktur koran memang layak disebut sastrawan.

Kecerdasan Pembaca; Seleksi Alam Dunia Blog

Semua orang, siapa saja, dari latar belakang pendidikan dan disiplin apasaja berhak membuat sebuah blog. Tanpa kualifikasi dan syarat, hanya dengan modal agak mahir menari di atas keyboard, mempunyai akun email untuk register di salah satu blog gratisan, seseorang akan dengan mudah mempublikasikan karya-karyanya. Tidak akan ada editor yang akan mengobrak-abrik tulisan. Karena kebebasan yang dimiliki oleh blog inilah sering orang menganggap bahwa blog adalah pelarian orang-orang yang tidak berhasil menembus media cetak.

Inilah yang membuat ada sebagian orang yang agak sinis dengan kehadiran sastra blog. Kesinisan yang memang beralasan. Bagaimana kemudian nasib sastra menghadapi tradisi baru yang serba bebas ini? Setiap orang dengan mudah menyodorkan kepada publik sebuah karya sastra, entah layak baca atau tidak. Setiap orang bisa saja mengaku sebagai sastrawan. Lalu? Apakah ini menandakan generasi narsisis telah lahir dalam skala massal?

Tetapi golongan yang sinis ini tidak banyak, jika dibandingkan dengan golongan yang menyambut dengan gembira kelahiran generasi ini. Meskipun karya-karya sastra menjamur melalui blog-blog tanpa adanya jaminan mutu, dan setiap orang boleh mengaku sastrawan (setidaknya untuk dirinya sendiri), tetapi penilaian publik akan tetap obyektif. Pembaca yang akan menentukan eksistensi tulisan-tulisan para blogger. Jika karya-karya yang mereka suguhkan dalam blognya memang bagus dan memiliki sense tersendiri, pembaca akan berdatangan dan terus berkunjung kembali untuk menikmati hidangan yang disediakan. Sebaliknya, jika yang mereka suguhkan adalah karya-karya kacangan, blog-blog itu mungkin hanyalah penyempurna bianglala di dunia cyber. Seperti sebuah euforia sesaat.

Seperti yang diungkap oleh Sawali Tuhusetya, penulis kumpulan cerpen Perempuan Bergaun Putih ini, bahwa sudah saatnya kita beralih dari zaman praliterer ke zaman postliterer. Adanya blog akan menampung seluas-luasya pikiran publik yang tidak sanggup ditampung oleh media cetak yang ruangannya terbatas dengan lembaran-lembaran halaman. Begitu juga dengan jangkauan media cetak yang terbatas waktu dan lokal.

Metamorfosa Sastrawan Blog Jadi Blogger Sastrawan

Berbeda dengan “sastrawan blog”, blogger sastrawan adalah para sastrawan yang ngeblog. mereka ini bukan hanya sastrawan di dunia maya, tetapi benar-benar seorang sastrawan dalam dunia sebenarnya. Adanya blogger sastrawan inilah yang memperjelas dan menjawab kekhawatiran akan bagaimana nasib sastra. Ada tolok ukur dan pijakan, ada referensi yang bisa dijadikan pegangan untuk menilai mana sastra yang bermutu dan yang kacangan. Dengan lahirnya blog-blog para sastrawan ini, masyarakat menjadi semakin mudah ”mengaji” dengan mereka.

Siapa yang tidak mengenal Joni Ariadinata, cerpenis yang namanya diorbitkan oleh Kompas melalui cerpen yang berjudul “Lampor”, baru-baru ini mulai melirik blog sebagai alternatif media “dakwah”nya. Begitu juga dengan Seno Gumiro Adjidarma, seorang sastrawan surealis, juga mempublikasikan karya-karyanya lewat blog. Atau Agus Noor, sastrawan yang konsen pada dunia puisi ini, juga bisa ditemui lewat situs pribadi (blog). Ini hanya menyebut sebagian nama sebagai contoh. Tentu saja masih banyak lagi para sastrawan yang mulai berdakwah lewat blog.

Lalu bagi ”sastrawan blog”, akan tetap menjadi sastrawan dalam tanda kutip. Blog disini bisa menjadi motivasi untuk terus menghasilkan karya dan meningkatkan hasil karyanya sehingga tanda kutip itu akan lenyap. Sebut saja Lala Purwono, seorang blogger yang baru saja mengadakan launching buku pertamanya ”The Bling Of My Life” di JIC (Jakarta Invention Centre), adalah salah satu contoh seorang blogger yang baru saja menghapus tanda kutipnya sebagai sastrawan blog.

Barangkali kita tidak perlu memandang sebelah mata pada menjamurnya karya-karya sastra di berbagai blog. Terlepas dari mutu atau tidak, setidaknya seorang penulis sudah berani bertangungjawab dan menerima konsekuensi moral akibat keberanian mempublikasikan hasil pemikirannya. Karena menulis sebenarnya adalah soal keberanian, keberanian menuai kritik dan keberanian untuk siap menerima pujian sehingga tidak segera tenggelam, karena kadang-kadang pujian hanyalah penghargaan basa-basi yang semu.

Kita juga tidak perlu minder dengan sebutan sastrawan dalam tanda kutip itu Meskipun disebut sastrawan di kandang sendiri, tetapi kita bisa memaknainya sebagai proses awal pengenalan diri kepada publik. Pengenalan diri disini dimaksudkan bukan hanya pengenalan diri secara personal, tetapi yang lebih penting adalah pengenalan karya-karya kita di hadapan masyarakat yang lebih luas. Selanjutnya proses awal ini adalah batu loncatan untuk terus dan terus memperbaiki kualitas tulisan dari yang kacangan menjadi yang lebih berisi.

Rahma Mauhibah

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.